Minggu, 25 April 2010

Hagelslag dan Budaya "Mengeluh"




Waktu mulai menulis ini, saya berpikir tentang sesuatu yang besar, canggih, modern dan mampu mengubah dunia. Setidaknya itulah yang ada di benak saya ketika mendengar kata "inovasi". Saya berpikir tentang kincir angin yang mengagumkan, perkebunan tulip yang terhampar luas, industri keju dan coklat yang berlimpah, dan berbagai teknologi lainnya yang jadi ciri khas Negeri Oranye. Tapi, tidak ada yang bisa lebihmenarik hati daripada sahabat saya ini.


Dia adalah benda pertama yang saya kenal dari negeri itu. Saya rasa saya sudah mengenalnya bahkan sebelum saya bisa mengeja kata "Belanda". Saya mengenalnya lewat ibu. Beliau mempertemukan kami di meja makan setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Saya selalu tidak bisa menahan senyum setiap kali melihatnya. Kami bertemu ketika dia sedang asyik berbaring di atas roti tawar yang berbalut mentega kuning yang menggoda. Orang mengenalnya dengan banyak nama chocolate sprinkles, hundreds and thousands, chocolate jimmies. Tapi dulu saya hanya mengenalnya dengan nama meises.




Hanya orang Indonesia yang memanggilnya meises. Nama itu muncul karena nama aslinya terlalu sulit untuk diucapkan. Karena noni-noni Belanda senang sekali makan roti dengan butiran cokelat ini, orang Indonesia lalu menyebutnya meisjes (gadis kecil) sebagai pengingat akan nona-nona Belanda itu. Tak ada yang mengenal nama meises di negara asalnya. Hagelslag, begitulah orang-orang memanggilnya di sana. Taburan cokelatnya yang kecil namun padat, rupanya mengingatkan orang Belanda pada rintik-rintik hujan es yang terkadang turun pada musim dingin. Dari situlah namanya muncul, dari hagel si hujan es.


Sahabat saya ini lahir pada tahun 1936 dari seorang pria bernama Gerard de Vries, yang bekerja di pabrik permen dan cokelat milik ayahnya yang bernama Venz. Dia berkali-kali mencoba memasukkan adonan biji cokelat, gula dan mentega ke dalam semua alat dapur yang dimilikinya. Sampai akhirnya dia menaruh adonan itu ke dalam mesin spaghetti dan membentuk cokelat dalam helaian panjang dan halus. Setelah kering, barulah cokelat tersebut dipotong kecil-kecil menjadi bentuk yang saya kenal selama ini.

Menariknya, orang awalnya meremehkan penemuan kecil ini. Tapi, siapa yang menyangka kalau sekarang hagelslag adalah teman makan roti paling populer di Belanda? Setidaknya ada 600 juta roti lapis yang dimakan dengan hagelslag di Belanda setiap tahunnya. Jumlah yang tidak sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang hanya sekitar 16 juta orang. Belum lagi, hagelslag juga dipakai di seluruh dunia untuk menghias kue, donat, cupcakes dan banyak makanan lainnya. Tak heran jika 74 tahun setelah hagelslag ditemukan, Venz masih jadi salah satu produsen hagelslag terbaik di Belanda.


Tentu saja saya pikir Gerard de Vries hebat. Tapi, saya pikir dia hebat bukan karena kecerdikannya menggunakan mesin spaghetti untuk menciptakan hagelslag. Saya pikir dia hebat karena dia mendengarkan. Kalau saja waktu itu dia tidak mendengarkan keluhan seorang bocah kepadanya melalui surat-surat, mungkin sekarang makan pagi saya akan sangat membosankan. H. Bakker, anak laki-laki berumur lima tahun itu, mengeluh tentang bagaimana sulitnya menikmati roti dengan cokelat batangan. Ia berharap ada topping cokelat yang enak dan mudah dinikmati dengan roti. Gerard memilih untuk mendengarkan dan mewujudkan impian anak itu.

Dari hagelslag, saya belajar percaya hal kecil bisa membuat perubahan. Butiran-butiran cokelat itu tak hanya berhasil menaburkan senyum di wajah saya sejak pertemuan pertama kami, tapi juga -saya yakin- menaburkan senyum di wajah ribuan anak lainnya. Dari penemuan hagelslag, saya belajar bahwa mengeluh adalah langkah awal menuju sesuatu yang baru.



Orang Belanda memang dikenal karena kegemaran mereka mengeluh. Hobi ini membuat saya sempat kurang cocok dengan kawan Belanda saya. Keluhan tentang panasnya udara, macetnya ibukota, bis yang tidak pernah jelas waktu kedatangannya, dan deretan hal kecil lainnya bisa berbuntut diskusi panjang atau bahkan pertengkaran. Maklum, sebagai orang Indonesia, saya selalu diajari untuk tidak mengeluh, pasrah dan nrimo dengan keadaan yang ada. Bagi telinga saya, keluhan selalu negatif.


Padahal, mengeluh tidak selamanya negatif. Mengeluh berarti menyadari ada yang salah dengan diri sendiri, orang lain atau lingkungan sekitar. Sisi lain dari mengeluh adalah keberanian untuk berterus terang menyatakan kebenaran yang ada. Selama tidak berhenti di sana, mengeluh bisa berguna. Karena setelah menyadari ada yang salah, mengeluh harusnya dilanjutkan dengan tindakan riil yang berujung kepada sesuatu yang baru atau yang lebih baik. Tak heran kalau kemudian banyak sekali penemuan baru yang muncul dari negeri asal hagelslag ini.


Geliat-geliat manusianya yang tidak pernah puas dan terus mencari sesuatu yang lebih baik, mengisyaratkan kedinamisan dan keterbukaan negara ini. Salah satu tempat terbaik menengok akar budaya ini adalah sistem pendidikannya. Tidak hanya negeri ini membuka tangannya lebar-lebar melalui 1388 kelas internasional yang tersedia, Belanda juga memberikan beasiswa sebesar 30 juta euro untuk periode 2010-2014. Bertumpu pada budaya “mengeluh” dan berterus terang itu, mahasiswanya bebas mengungkapkan opini dan berdiskusi dengan dosen atau seluruh kelas. Sakit hati atau pun perasaan sungkan sudah tidak ada lagi karena budaya “mengeluh” dan berterus terang sudah menjadi suatu hal yang dianggap lumrah dan biasa. Dari keluhan dan diskusi di kelas-kelas inilah yang kemudian berbuah menjadi ide-ide inovatif.


Bagi saya, inovasi Belanda dimulai dari kepekaan, kegelisahan serta keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang baru dan lebih baik. Manusianya dididik untuk tidak hanya puas dan menerima segala sesuatu yang diberikan, tapi lebih kreatif mencari solusi. Bagi saya, inovasi Belanda dimulai dengan keluhan dan berakhir dengan keajaiban.


Keterangan : Foto-foto milik Erik Stolman, dipasang atas seizinnya.



6 komentar:

  1. wow...mau dong meises eh hagelslag nya...inovasi yg lezat..yummy

    BalasHapus
  2. nice post!! tulisannya menarik buat dibaca sampe abis. beneran deh si aku baru tau ide rice-chocolate itu dari situ. :)

    BalasHapus
  3. Another great story from you,, idenya simple, tapi menarik banget! dan seperti biasa ga pernah bosan dengan gaya penulisanmu. Ckckck.. Gutluck ya!!

    BalasHapus
  4. waauw infonya bagus.. baru tau meisjes itu artinya gadis kecil.. *masih bengong*

    BalasHapus
  5. terima kasih commentnya semua...
    iya nih..karena memang suka meises dari dulu, jadi banyak cari tahu soal meises deh...hehehe :)

    BalasHapus
  6. wauw! belajar dari tulisanmu, Bo.

    sejauh ini gw pun lebih banyak nrimo dan pasrah saja. keluhan gw anggap hanya akan membuat gw pusing sendiri. dan ternyata, gw harus memandang keluhan ini dari sisi yang lain.

    siplah! :D

    BalasHapus