Rabu, 28 April 2010

Kamu Pikir Perempuan Itu...

Kamu pikir perempuan itu:
Bernama kelembutan...
Berbingkai kesopanan...
Bermahkotakan keanggunan...
Beralaskan kepatuhan...
Bertabur ketidakberdayaan...

Sehingga kamu bisa rebut segala yang ada padanya,
dan ia akan tetap tersenyum manis kepadamu...

Kamu pikir perempuan itu malaikat...
Sampai kamu menyaksikannya bangkit..
menggoreskan racun ke setiap nadimu..
membunuhmu perlahan...

Dan pada saat itulah aku tertawa puas...

Minggu, 25 April 2010

Hagelslag dan Budaya "Mengeluh"




Waktu mulai menulis ini, saya berpikir tentang sesuatu yang besar, canggih, modern dan mampu mengubah dunia. Setidaknya itulah yang ada di benak saya ketika mendengar kata "inovasi". Saya berpikir tentang kincir angin yang mengagumkan, perkebunan tulip yang terhampar luas, industri keju dan coklat yang berlimpah, dan berbagai teknologi lainnya yang jadi ciri khas Negeri Oranye. Tapi, tidak ada yang bisa lebihmenarik hati daripada sahabat saya ini.


Dia adalah benda pertama yang saya kenal dari negeri itu. Saya rasa saya sudah mengenalnya bahkan sebelum saya bisa mengeja kata "Belanda". Saya mengenalnya lewat ibu. Beliau mempertemukan kami di meja makan setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Saya selalu tidak bisa menahan senyum setiap kali melihatnya. Kami bertemu ketika dia sedang asyik berbaring di atas roti tawar yang berbalut mentega kuning yang menggoda. Orang mengenalnya dengan banyak nama chocolate sprinkles, hundreds and thousands, chocolate jimmies. Tapi dulu saya hanya mengenalnya dengan nama meises.




Hanya orang Indonesia yang memanggilnya meises. Nama itu muncul karena nama aslinya terlalu sulit untuk diucapkan. Karena noni-noni Belanda senang sekali makan roti dengan butiran cokelat ini, orang Indonesia lalu menyebutnya meisjes (gadis kecil) sebagai pengingat akan nona-nona Belanda itu. Tak ada yang mengenal nama meises di negara asalnya. Hagelslag, begitulah orang-orang memanggilnya di sana. Taburan cokelatnya yang kecil namun padat, rupanya mengingatkan orang Belanda pada rintik-rintik hujan es yang terkadang turun pada musim dingin. Dari situlah namanya muncul, dari hagel si hujan es.


Sahabat saya ini lahir pada tahun 1936 dari seorang pria bernama Gerard de Vries, yang bekerja di pabrik permen dan cokelat milik ayahnya yang bernama Venz. Dia berkali-kali mencoba memasukkan adonan biji cokelat, gula dan mentega ke dalam semua alat dapur yang dimilikinya. Sampai akhirnya dia menaruh adonan itu ke dalam mesin spaghetti dan membentuk cokelat dalam helaian panjang dan halus. Setelah kering, barulah cokelat tersebut dipotong kecil-kecil menjadi bentuk yang saya kenal selama ini.

Menariknya, orang awalnya meremehkan penemuan kecil ini. Tapi, siapa yang menyangka kalau sekarang hagelslag adalah teman makan roti paling populer di Belanda? Setidaknya ada 600 juta roti lapis yang dimakan dengan hagelslag di Belanda setiap tahunnya. Jumlah yang tidak sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang hanya sekitar 16 juta orang. Belum lagi, hagelslag juga dipakai di seluruh dunia untuk menghias kue, donat, cupcakes dan banyak makanan lainnya. Tak heran jika 74 tahun setelah hagelslag ditemukan, Venz masih jadi salah satu produsen hagelslag terbaik di Belanda.


Tentu saja saya pikir Gerard de Vries hebat. Tapi, saya pikir dia hebat bukan karena kecerdikannya menggunakan mesin spaghetti untuk menciptakan hagelslag. Saya pikir dia hebat karena dia mendengarkan. Kalau saja waktu itu dia tidak mendengarkan keluhan seorang bocah kepadanya melalui surat-surat, mungkin sekarang makan pagi saya akan sangat membosankan. H. Bakker, anak laki-laki berumur lima tahun itu, mengeluh tentang bagaimana sulitnya menikmati roti dengan cokelat batangan. Ia berharap ada topping cokelat yang enak dan mudah dinikmati dengan roti. Gerard memilih untuk mendengarkan dan mewujudkan impian anak itu.

Dari hagelslag, saya belajar percaya hal kecil bisa membuat perubahan. Butiran-butiran cokelat itu tak hanya berhasil menaburkan senyum di wajah saya sejak pertemuan pertama kami, tapi juga -saya yakin- menaburkan senyum di wajah ribuan anak lainnya. Dari penemuan hagelslag, saya belajar bahwa mengeluh adalah langkah awal menuju sesuatu yang baru.



Orang Belanda memang dikenal karena kegemaran mereka mengeluh. Hobi ini membuat saya sempat kurang cocok dengan kawan Belanda saya. Keluhan tentang panasnya udara, macetnya ibukota, bis yang tidak pernah jelas waktu kedatangannya, dan deretan hal kecil lainnya bisa berbuntut diskusi panjang atau bahkan pertengkaran. Maklum, sebagai orang Indonesia, saya selalu diajari untuk tidak mengeluh, pasrah dan nrimo dengan keadaan yang ada. Bagi telinga saya, keluhan selalu negatif.


Padahal, mengeluh tidak selamanya negatif. Mengeluh berarti menyadari ada yang salah dengan diri sendiri, orang lain atau lingkungan sekitar. Sisi lain dari mengeluh adalah keberanian untuk berterus terang menyatakan kebenaran yang ada. Selama tidak berhenti di sana, mengeluh bisa berguna. Karena setelah menyadari ada yang salah, mengeluh harusnya dilanjutkan dengan tindakan riil yang berujung kepada sesuatu yang baru atau yang lebih baik. Tak heran kalau kemudian banyak sekali penemuan baru yang muncul dari negeri asal hagelslag ini.


Geliat-geliat manusianya yang tidak pernah puas dan terus mencari sesuatu yang lebih baik, mengisyaratkan kedinamisan dan keterbukaan negara ini. Salah satu tempat terbaik menengok akar budaya ini adalah sistem pendidikannya. Tidak hanya negeri ini membuka tangannya lebar-lebar melalui 1388 kelas internasional yang tersedia, Belanda juga memberikan beasiswa sebesar 30 juta euro untuk periode 2010-2014. Bertumpu pada budaya “mengeluh” dan berterus terang itu, mahasiswanya bebas mengungkapkan opini dan berdiskusi dengan dosen atau seluruh kelas. Sakit hati atau pun perasaan sungkan sudah tidak ada lagi karena budaya “mengeluh” dan berterus terang sudah menjadi suatu hal yang dianggap lumrah dan biasa. Dari keluhan dan diskusi di kelas-kelas inilah yang kemudian berbuah menjadi ide-ide inovatif.


Bagi saya, inovasi Belanda dimulai dari kepekaan, kegelisahan serta keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang baru dan lebih baik. Manusianya dididik untuk tidak hanya puas dan menerima segala sesuatu yang diberikan, tapi lebih kreatif mencari solusi. Bagi saya, inovasi Belanda dimulai dengan keluhan dan berakhir dengan keajaiban.


Keterangan : Foto-foto milik Erik Stolman, dipasang atas seizinnya.



Selasa, 20 April 2010

Magic On TV


I always thought you were a magician...
If not, how come I always look at your smile with a giant enthusiasm and said, "Please do that again!"

Selasa, 13 April 2010

The Charm of Lying

"I lied..."
"Why?"
"I don't want to hurt you."
"Well...you just did."

Sebaik apa pun orangnya, apa pun alasannya, sebesar apa pun kebohongannya, setiap orang pasti pernah berbohong. Sebut saya sinis, sebut saya skeptis. Tapi bagi saya, kebohongan adalah salah satu bakat manusia. Beberapa orang tidak berbakat dan beberapa orang lain punya bakat besar untuk menciptakan kebohongan. Karena tanpa kebohongan, dunia tidak akan semenarik sekarang ini.

Pemikiran tentang kebohongan datang kepada saya setelah kunjungan tengah malam ke salah satu kamar tetangga dan nimbrung saat dia menonton film yang berjudul "The Intention of Lying". Di film tersebut, dunia adalah sebuah tempat di mana semua orang berkata jujur dan konsep kebohongan sama sekali tidak ada. Sampai akhirnya seorang pria memutuskan untuk mengatakan yang bukan kebenaran. Dunia yang tadinya membosankan itu berubah menjadi hidup.

Harus saya akui, saya jadi lebih menghargai eksistensi kebohongan setelah menonton film itu. Saya mengingat aliran adrenalin yang dihasilkannya dan menikmati percikan konflik yang ditimbulkannya. Ya, tentu saja saya pernah berbohong. Saya bukan malaikat.

Dan tentu saja saya juga tahu betapa menyakitkannya sebuah kebohongan. Tidak hanya bagi si orang yang dibohongi tapi juga bagi si pencipta kebohongan. Bagi orang yang dibohongi, itu adalah pengkhianatan besar-besaran bagi sebuah rasa yang disebut kepercayaan. Bagi pencipta kebohongan, itu berarti mempertaruhkan sebuah hubungan yang juga dilandasi percaya. Tapi, kenapa masih berbohong?

Menyelamatkan muka sendiri (walaupun lebih sering dibalut dengan alasan "menjaga perasaan orang lain") adalah alasan kenapa berbohong menjadi pilihan. Dengan berbohong, hanya diri sendiri saja yang tahu kebenaran yang memalukan itu. Itulah yang terus menerus menjadi daya tarik kebohongan. Kalau saja setiap kali kita berbohong, hidung kita bertambah panjang seperti Pinokio, saya yakin sebagian besar dari kita akan lebih menyerah pada pilihan berkata jujur. Maklum, selain harus menahan malu karena sudah ketahuan berbohong, hidup dengan hidung sangat panjang pun bisa jadi menyusahkan.

Sayangnya, seberapa menggairahkan dan menantangnya kebohongan, saya menyadari akhirnya
diri sendirilah yang paling saya lukai. Saya sendirilah yang berdarah paling banyak.

"Who do you lie to this time?"
"Myself."
"What did you say?"

"That I love her."








Minggu, 11 April 2010

Ritual Pagi






If people were meant to pop out of bed, we'd all sleep in toasters.
(Anonymous)


Bangun pagi sering jadi masalah untuk banyak orang, termasuk buat saya. Membuka mata, terutama setelah akhir pekan seperti pagi ini, rasanya berat sekali. Setelah terbangun pun, sepertinya selalu ada sejuta kekuatan yang menggoda saya kembali ke dalam tidur panjang. Tentu saja, setelah sebelumnya saya mengirim SMS ke si bos dan memberi tahu saya merasa tidak cukup "sehat" untuk bekerja hari itu.

Ada beribu cara yang ditawarkan artikel di berbagai majalah untuk memulai hari. Sayangnya, artikel-artikel itu tidak pernah menarik perhatian saya. Mungkin karena saya sudah tahu benar bagaimana "ampuhnya" artikel tips setelah dua tahun bergelut sebagai redaktur feature. Hal yang justru lebih membuat saya penasaran adalah ritual pagi setiap orang.

Rasa penasaran ini muncul ketika saya melihat kebiasaan teman sekamar saya yang terbilang ajaib. Pasalnya, setiap pagi, dia selalu jadi yang terakhir bangun. Tapi, begitu terbangun, matanya nggak berhenti menatap layar Blackberry dan tangannya dengan lincah men-scroll down
timeline si burung kecil bernama Twitter. Sepertinya, bagi kawan saya ini, tidak lengkap rasanya memulai hari tanpa mengetahui apa yang terjadi pada dunia pagi itu. Baginya, membaca timeline, sama seperti membaca koran atau menonton berita di pagi hari. Only better!

Kawan saya lainnya butuh setidaknya beberapa menit untuk bengong setelah terbangun. Menurutnya, tujuan dari aktivitas bengong itu adalah mengumpulkan nyawa dan kemudian membeberkan daftar panjang hal-hal yang harus dilakukannya hari itu. Tak heran, kawan saya yang satu ini, memang terbilang cukup pandai mengatur banyak hal dalam hidup.

Lain lagi ceritanya dengan kawan saya yang belum lama saya kenal. Hal yang pertama dia lakukan setelah membuka mata adalah berlari ke kamar mandi dan menyikat gigi. Ajaran sang ibu untuk tidak berbicara apa pun kepada siapa pun sebelum menyikat gigi, rupanya masih melekat di dirinya. Walaupun menurutnya, tidak jarang ia kembali ke tempat tidur dan bermalas-malasan lagi.

Saya sendiri terbiasa bangun dan memandang satu titik atau benda di kamar saya. Biasanya titik atau benda itulah yang akan menguraikan hubungan satu hal dengan hal lainnya, dan kemudian menghubungkan saya dengan dunia nyata. Misalnya saja pagi ini saya terbangun dan memandang deodorant yang saya letakkan di samping TV. Saya jadi langsung teringat harus segera membeli yang baru karena yang lama sudah hampir habis. Itu berarti saya menyempatkan diri mampir ke minimart terdekat setelah kantor.

Ritual pagi, seberapa pun unik, aneh atau bahkan biasa saja, tetap menarik untuk saya. Bukan hanya karena memberi semangat untuk memulai hari, tapi juga karena itu memberi identitas kepada saya dan siapa saya. Makanya, rasanya tidak mungkin hal itu disamaratakan atau dibuat rambu-rambunya seperti artikel-artikel di majalah.















Jumat, 09 April 2010

the beauty of blog


Menulis adalah hidup saya.
Tapi, menulis blog adalah hal lain.
Menulis blog berarti menulis kehidupan...



Sejak dulu saya memang bukan pemerhati teknologi. Beberapa kawan bahkan sering kali mengejek saya dengan panggilan "gaptek" karena kebutaan saya terhadap teknologi terbaru. Makanya, ketika blog mulai populer, saya adalah salah satu orang yang tidak menyambut hangat konsep ini, bahkan cenderung bersikap sinis.

Awalnya konsep "buku harian publik" yang ditawarkan blog terasa sangat aneh dan tidak masuk akal bagi saya. Maklum, pengertian buku harian untuk saya adalah sesuatu yang personal yang seharusnya saya simpan sendiri. Saya teringat sebuah kejadian memalukan di Sekolah Dasar ketika seorang kawan menemukan buku harian saya dan membacanya keras-keras di depan kelas. Sejak saat itu, saya mengunci rapat-rapat buku harian saya dan berjanji akan menjaganya dengan nyawa saya. Hahaha.
Mungkin saya berlebihan, tapi itulah yang saya lakukan seterusnya.

Sikap anti saya terhadap blog juga sempat mengherankan banyak orang. Profesi saya sebagai reporter di sebuah majalah remaja membuat orang yakin saya cukup rajin menulis blog. Tapi, mereka selalu berakhir kerutan di dahi setelah mendengar saya membenci blog.

Sampai dua bulan lalu, saya masih belum percaya akan konsep blog. Menulis blog, bagi saya adalah menelanjangi diri sendiri, menerjang batas privasi, dan membiarkan jutaan orang mengakses kehidupan saya. Saya tidak percaya saya akan menulis blog sampai pembicaraan sore itu dengan seorang kawan.

Kawan saya bukan tipe penulis tapi dia punya blog dan cukup rajin mengisinya. Saya pikir dia lebih seperti tipe narsis. Dia bilang, "Ngapain nulis, kalau nggak ada yang baca? Kalau di blog, orang jadi tahu soal kita tanpa perlu kita bilang. That's the beauty of it. Mereka tinggal baca dan kalau beruntung, kita bisa tahu komentar mereka. " katanya sambil menyeruput segelas hot chocolate di depannya.

Setelah pembicaraan sore itu, saya jadi berpikir ulang tentang menulis blog. Kalau saya tidak berani menulis blog, berarti saya tidak ada bedanya dengan kura-kura kecil yang selalu sembunyi dalam tempurungnya. Kalau dia tidak berani keluar dari tempurungnya, mana ada orang yang bisa mengenalnya? Mana ada orang yang bisa melihat keindahan kulitnya? Atau memberi tahunya tentang luka di ekornya? Sejak saat itu, saya memutuskan untuk menulis blog. Bukan hanya sebagai bagian untuk menunjukkan diri dan eksistensi saya kepada dunia, tapi lebih sebagai upaya saya untuk jujur terhadap diri sendiri.

Maka,di sinilah saya sekarang menulis. Dan di sanalah Anda membaca tulisan saya. Di titik inilah kita bertemu, memulai perjalanan baru dan berbagi kisah yang disebut hidup.